Setiap tanggal 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional. Namun, di balik euforia perayaan, terselip sebuah peringatan keras tentang kondisi kesehatan anak-anak kita: masalah stunting. Stunting bukan sekadar istilah medis, melainkan sebuah krisis yang membayangi potensi sumber daya manusia Indonesia. Lantas, apa itu stunting yang sering kali disebut sebagai ancaman tersembunyi ini?
Berdasarkan laporan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) dari Kementerian Kesehatan, Indonesia telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam penurunan angka stunting. Prevalensinya turun dari 27,7% pada 2019 menjadi 21,6% pada 2022. Namun, angka ini masih berada di atas standar WHO, yaitu di bawah 20%. Pemerintah pun menargetkan penurunan angka stunting menjadi 14% pada tahun 2024. Target yang ambisius ini membutuhkan pemahaman dan aksi kolektif dari seluruh lapisan masyarakat.
Apa Itu Stunting? Memahami Definisi dan Ciri-Cirinya
Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Definisi ini sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Gangguan ini ditandai dengan panjang atau tinggi badan anak yang berada di bawah standar (lebih pendek) untuk usianya.
Banyak yang keliru menganggap anak yang pendek adalah faktor genetika semata. Padahal, stunting adalah indikator utama dari masalah gizi buruk yang berlangsung lama. Ciri-ciri stunting yang utama adalah:
- Tinggi badan di bawah standar adalah tanda yang paling mudah terlihat. Perbandingan tinggi badan anak dengan anak seusianya akan menunjukkan perbedaan yang signifikan.
- Meski terlihat pendek, proporsi tubuh anak stunting biasanya tampak normal. Hal ini seringkali mengecoh orang tua.
- Anak mungkin mengalami keterlambatan dalam kemampuan motorik dan kognitif dibandingkan anak seusianya.
- Performaan kognitif di bawah rata-rata adalah dampak yang tidak terlihat secara fisik tetapi sangat mempengaruhi masa depan anak.
Penting untuk dipahami bahwa stunting bukan hanya tentang fisik yang pendek, tetapi lebih kepada terhambatnya perkembangan otak dan potensi anak secara keseluruhan. Seorang anak yang mengalami stunting mungkin akan kesulitan mencapai potensi maksimalnya dalam hal belajar dan produktivitas di masa dewasa.
Akar Permasalahan dan Penyebab Stunting
Penyebab stunting bersifat multifaktorial dan saling berkaitan. Memahami akar permasalahannya adalah langkah pertama untuk menemukan solusi yang efektif.
1. Kurangnya Asupan Gizi pada Ibu dan Anak
Kekurangan gizi tidak hanya terjadi setelah anak lahir, tetapi bahkan dimulai sejak dari dalam kandungan. Pada masa kehamilan, ibu hamil yang tidak mendapat asupan gizi berkualitas, terutama protein, zat besi, dan asam folat, berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yang rentan menjadi stunting. Selanjutnya, periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yang dimulai dari janin hingga anak berusia 2 tahun, adalah window of opportunity yang kritis. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang bergizi dan berkualitas setelahnya adalah kunci mutlak untuk mencegah stunting.
2. Faktor Pengetahuan Ibu dan Pola Asuh
Rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan menjadi pemicu lain stunting pada anak. Banyak orang tua, terutama di daerah terpencil, belum sepenuhnya memahami pentingnya pola makan seimbang dan bernutrisi. Praktik pemberian makan yang tidak tepat, seperti memberikan makanan dengan gula dan garam berlebihan atau tekstur yang tidak sesuai usia, turut berkontribusi pada masalah gizi buruk.
3. Kondisi Sanitasi dan Akses Air Bersih yang Buruk
Anak yang tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang buruk, akses air bersih yang terbatas, serta kebersihan personal yang rendah, sangat rentan terhadap penyakit infeksi seperti diare dan cacingan. Infeksi yang berulang menyebabkan nutrisi yang seharusnya untuk pertumbuhan, teralihkan untuk melawan penyakit. Kondisi ini memperburuk penyerapan gizi dan akhirnya menyebabkan stunting. Hubungan antara sanitasi dan stunting adalah hubungan yang sangat erat dan sering diabaikan.
4. Terbatasnya Akses ke Layanan Kesehatan
Fasilitas kesehatan yang tidak merata, terutama di daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), menjadi kendala besar. Ibu hamil dan balita kesulitan mendapatkan layanan seperti:
- Pemeriksaan kehamilan (antenatal care) yang rutin.
- Imunisasi lengkap untuk mencegah penyakit infeksi.
- Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak di Posyandu.
5. Faktor Sosial Ekonomi
Kemiskinan seringkali membatasi akses keluarga terhadap pangan bergizi, layanan kesehatan, dan lingkungan hidup yang layak. Keluarga dengan pendapatan rendah lebih sulit menyediakan protein hewani, sayur, dan buah yang cukup bagi anak-anak mereka.
Dampak Stunting yang Bersifat Jangka Panjang dan Permanen
Dampak stunting tidak hanya sesaat, tetapi dapat terbawa hingga anak dewasa. Berikut adalah konsekuensi serius dari kondisi ini:
1. Dampak Jangka Pendek
Dalam jangka pendek, stunting menyebabkan perkembangan kognitif yang terhambat dimana anak stunting memiliki kemampuan belajar dan IQ yang lebih rendah. Kondisi ini juga mengakibatkan sistem kekebalan tubuh yang lemah, membuat anak menjadi lebih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Selain itu, terjadi gangguan metabolisme yang meningkatkan risiko obesitas dan penyakit terkait di kemudian hari.
2. Dampak Jangka Panjang
Dampak jangka panjang stunting bahkan lebih mengkhawatirkan. Individu yang mengalami stunting pada masa kecil cenderung memiliki produktivitas dan capaian ekonomi yang rendah saat dewasa. Mereka sering kali sulit bersaing di dunia kerja dan berpenghasilan lebih kecil, yang pada akhirnya memicu lingkaran kemiskinan yang berkelanjutan. Stunting juga meningkatkan risiko penyakit tidak menular di usia dewasa, seperti diabetes, penyakit jantung, stroke, dan kanker. Yang paling memprihatinkan, dampak stunting dapat menurun ke generasi berikutnya – perempuan yang pernah mengalami stunting berisiko lebih tinggi melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, sehingga rantai stunting terus berlanjut ke generasi berikutnya.
Solusi dan Upaya Pencegahan Stunting
Menangani stunting memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi dari hulu ke hilir. Berikut adalah langkah-langkah strategis untuk mencegah stunting:
1. Intervensi Gizi Spesifik (oleh Sektor Kesehatan)
Program ini mencakup pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) kepada remaja putri dan calon pengantin untuk mencegah anemia. Pada ibu hamil, intervensi difokuskan pada memastikan kecukupan gizi, pemberian TTD, dan pemeriksaan kehamilan rutin termasuk USG. Sedangkan untuk bayi dan balita, upaya yang dilakukan adalah mendorong Inisiasi Menyusu Dini (IMD), pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, serta MPASI yang bergizi dan berkualitas setelahnya.
2. Intervensi Gizi Sensitif (Melibatkan Berbagai Sektor)
Langkah-langkahnya meliputi peningkatan layanan kesehatan melalui penguatan peran Posyandu dan Puskesmas, serta memastikan ketersediaan tenaga kesehatan di daerah 3T. Perbaikan sanitasi dilakukan dengan mendorong program Community-Led Total Sanitation (CLTS) untuk menghentikan buang air besar sembarangan dan menyediakan akses air bersih. Edukasi dan sosialisasi gizi dilaksanakan melalui kampanye masif tentang pentingnya gizi seimbang, pola asuh yang baik, dan kebersihan lingkungan melalui berbagai media. Selain itu, penguatan jaring pengaman sosial melalui program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) diperlukan untuk memastikan keluarga miskin dapat memenuhi kebutuhan gizinya.
3. Peran serta Masyarakat dan Keluarga
Setiap keluarga dapat berkontribusi dengan aktif memantau pertumbuhan anak melalui penimbangan dan pengukuran tinggi badan secara rutin di Posyandu. Penerapan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diwujudkan dalam praktik sehari-hari seperti mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban sehat, dan menjaga kebersihan rumah. Yang tak kalah penting, keluarga harus memastikan kebutuhan gizi terpenuhi dengan memberikan makanan bergizi seimbang, kaya protein, dan bervariasi kepada semua anggota keluarga, terutama anak-anak dalam masa pertumbuhan.
Pencegahan stunting, khususnya pada 1000 Hari Pertama Kehidupan, adalah investasi terbaik yang dapat kita berikan untuk mewujudkan Generasi Emas Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif. Dengan komitmen, edukasi, dan aksi nyata dari semua pihak, target bebas stunting bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai. Mari bersama-sama memutus mata rantai stunting untuk Indonesia yang lebih maju.
Baca juga:
- 11 Manfaat Kacang Pinus dan Cara Mengolahnya
- 4 Efek Samping Daun Kelor
- 16 Cara Menguruskan Badan Secara Alami
- Makanan Sehat untuk Orang Tua: Tips dan Jenis Makanan
- 15 Makanan Berprotein Tinggi untuk Kesehatan Optimal
FAQ (Pertanyaan Umum Tentang Stunting)
1. Apa perbedaan antara stunting dan gizi buruk?
Stunting adalah salah satu bentuk dari gizi buruk, khususnya gizi buruk kronis yang berlangsung lama. Sementara gizi buruk bisa mencakup kekurangan (malnutrisi) atau kelebihan gizi. Stunting secara spesifik merujuk pada gangguan pertumbuhan linear (tinggi badan) akibat kekurangan gizi dalam waktu panjang.
2. Apakah anak yang pendek pasti stunting?
Tidak selalu. Genetik orang tua memang mempengaruhi tinggi badan anak. Namun, untuk memastikannya, perlu dilakukan pengukuran dan pemantauan tinggi badan secara rutin di Posyandu atau fasilitas kesehatan. Jika tinggi badan anak konsisten berada di bawah garis merah (standar WHO) pada Kartu Menuju Sehat (KMS), maka ia berisiko stunting.
3. Bisakah stunting disembuhkan?
Dampak stunting pada tinggi badan bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki setelah anak melewati masa balita. Namun, intervensi gizi dan stimulasi yang intensif pada masa emas (0-2 tahun) masih dapat memperbaiki beberapa dampaknya, terutama pada perkembangan kognitif. Oleh karena itu, pencegahan adalah strategi yang paling efektif.
4. Kapan waktu yang tepat untuk mencegah stunting?
Waktu terbaik untuk pencegahan stunting adalah selama 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yang dihitung sejak janin dalam kandungan hingga anak berusia 2 tahun. Intervensi pada masa ini memberikan dampak yang paling signifikan.
5. Apa peran ayah dalam pencegahan stunting?
Peran ayah sangat besar. Ayah dapat mendukung dengan memastikan ibu mendapatkan gizi dan istirahat yang cukup selama hamil dan menyusui, terlibat dalam pengasuhan anak, membantu menyediakan makanan bergizi untuk keluarga, dan mendukung praktik kebersihan dan kesehatan di rumah.
6. Makanan seperti apa yang efektif mencegah stunting?
Makanan kaya protein hewani (seperti telur, ikan, ayam, daging, hati) sangat efektif karena mengandung zat besi, zink, dan asam amino esensial yang critical untuk pertumbuhan. Selain itu, makanan dengan keragaman (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral) dan MPASI yang dibuat dengan higienis juga sangat dianjurkan.
Referensi
- Beal, T., Tumilowicz, A., Sutrisna, A., Izwardy, D., & Neufeld, L. M. (2018). A review of child stunting determinants in Indonesia. Maternal & Child Nutrition, 14(4), e12617. https://doi.org/10.1111/mcn.12617
- Torlesse, H., Cronin, A. A., Sebayang, S. K., & Nandy, R. (2016). Determinants of stunting in Indonesian children: Evidence from a cross-sectional survey indicate a prominent role for the water, sanitation and hygiene sector in stunting reduction. BMC Public Health, 16, 669. https://doi.org/10.1186/s12889-016-3339-8
- Abuya, B. A., Ciera, J., & Kimani-Murage, E. (2012). Effect of mother’s education on child’s nutritional status in the slums of Nairobi. BMC Pediatrics, *12*(1), 80. https://doi.org/10.1186/1471-2431-12-80
- Black, R. E., Victora, C. G., Walker, S. P., Bhutta, Z. A., Christian, P., de Onis, M., Ezzati, M., Grantham-McGregor, S., Katz, J., Martorell, R., & Uauy, R. (2013). Maternal and child undernutrition and overweight in low-income and middle-income countries. The Lancet, *382*(9890), 427–451. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(13)60937-X
- Fink, G., Günther, I., & Hill, K. (2011). The effect of water and sanitation on child health: Evidence from the demographic and health surveys 1986–2007. International Journal of Epidemiology, *40*(5), 1196–1204. https://doi.org/10.1093/ije/dyr102
- Hoddinott, J., Behrman, J. R., Maluccio, J. A., Melgar, P., Quisumbing, A. R., Ramirez-Zea, M., Stein, A. D., Yount, K. M., & Martorell, R. (2013). Adult consequences of growth failure in early childhood. The American Journal of Clinical Nutrition, *98*(5), 1170–1178. https://doi.org/10.3945/ajcn.113.064584
- Prendergast, A. J., & Humphrey, J. H. (2014). The stunting syndrome in developing countries. Paediatrics and International Child Health, *34*(4), 250–265. https://doi.org/10.1179/2046905514Y.0000000158
- Semba, R. D., de Pee, S., Sun, K., Sari, M., Akhter, N., & Bloem, M. W. (2008). Effect of parental formal education on risk of child stunting in Indonesia and Bangladesh: A cross-sectional study. The Lancet, *371*(9609), 322–328. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(08)60169-5




